Laporan Warga – , Jakarta – Kabar baik datang dari arena perdagangan global. Perseteruan dagang yang selama ini menghangat antara Amerika Serikat dan Cina akhirnya menunjukkan tanda-tanda mereda. Kedua negara adidaya tersebut telah mencapai kesepakatan untuk melonggarkan penerapan tarif impor, yang diumumkan pada 12 Mei 2025. Kebijakan ini diharapkan mampu memberikan angin segar bagi stabilitas ekonomi dunia.
Kesepakatan penting ini lahir dari serangkaian perundingan intensif yang berlangsung di Jenewa, Swiss, selama beberapa hari. Inti dari kesepakatan tersebut adalah pemangkasan tarif impor secara signifikan oleh kedua negara. Amerika Serikat berjanji untuk menurunkan tarif impor terhadap produk-produk asal Cina dari semula 145 persen menjadi 30 persen. Sementara itu, Cina akan mengurangi tarif untuk barang-barang yang diimpor dari AS dari 125 persen menjadi 10 persen. Target implementasi dari kesepakatan ini adalah paling lambat tanggal 14 Mei.
Langkah ini dipandang sebagai upaya meredakan ketegangan yang sempat memuncak dalam perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Lebih dari itu, kesepakatan ini mengirimkan sinyal positif bagi negara-negara lain. “Kerja sama antarnegara seharusnya tidak dilakukan dengan cara yang merugikan pihak ketiga,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri China kepada Financial Times, menekankan pentingnya kolaborasi yang adil.
Namun, Ekonom dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Sekar Utami Setiastuti, mengingatkan pemerintah Indonesia untuk tidak terlalu cepat merasa lega dengan meredanya tensi perang dagang antara AS dan Cina. “Kita tetap harus waspada, karena karakter Trump itu kan volatile (tidak stabil). Ini baru perundingan awal. Kita juga belum melihat bagaimana hubungannya dengan negara lain. Jadi, kita tidak bisa bersantai. Kita harus tetap resilien dan waspada,” ujar Sekar dalam acara EB Journalism Academy di FEB UGM, Yogyakarta, seperti yang dilansir dari Antara pada hari Kamis, 15 Mei 2025.
Sekar menambahkan, selain bersikap siaga, pemerintah juga perlu menyiapkan langkah-langkah antisipatif jika dampak nyata dari konflik dagang tersebut mulai memengaruhi perekonomian nasional. “Kalau ada dampak negatif, kita harus memikirkan cara memberikan stimulus kepada sektor-sektor yang terdampak. Misalnya, jika dalam jangka panjang ada sektor tertentu yang terkena dampak, maka di situ mungkin perlu ada stimulus khusus,” jelasnya.
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede. Dia menekankan perlunya mewaspadai dan mengantisipasi potensi pelemahan ekonomi Tiongkok, yang bisa muncul sebagai dampak tidak langsung dari kebijakan tarif tinggi yang sebelumnya diberlakukan oleh Amerika Serikat.
Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan telah merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok untuk tahun ini dan tahun depan, menjadi hanya 4 persen. Kondisi ini berpotensi menjadi tantangan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat sekitar 20–25 persen dari total ekspor Indonesia ditujukan ke pasar Tiongkok. “Sehingga, perlambatan ekonomi Tiongkok ini pun akan turut mempengaruhi kinerja perekonomian Indonesia dan akan berimplikasi pada kinerja sektor keuangan di Indonesia,” kata Josua dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh OJK Institute di Jakarta, Kamis, 15 Mei 2025.
Namun, di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berpendapat bahwa situasi perang dagang global saat ini juga membuka peluang strategis bagi Indonesia. “Dengan tarif AS yang tinggi terhadap produk dari Tiongkok (145 persen), Vietnam (46 persen), dan Bangladesh (37 persen), produk ekspor Indonesia seperti pakaian dan alas kaki memiliki kesempatan untuk mengambil alih pangsa pasar,” kata Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Saat ini, Indonesia masih memiliki pangsa pasar yang relatif kecil di Amerika Serikat, yaitu 4,9 persen untuk produk pakaian rajutan dan 9 persen untuk produk alas kaki. Angka ini masih tertinggal dari negara pesaing seperti Tiongkok dan Vietnam.
Artikel Pilihan Redaksi: Inilah Dampak Kesepakatan Tarif Antara Amerika Serikat dan Cina