Home / Uncategorized / Jokowi hingga Dedi Mulyadi: Kepemimpinan Populis dalam Gempuran Medsos

Jokowi hingga Dedi Mulyadi: Kepemimpinan Populis dalam Gempuran Medsos

Jokowi hingga Dedi Mulyadi: Kepemimpinan Populis dalam Gempuran Medsos

Jakarta, [Tanggal] — Kemunculan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di berbagai platform digital seperti YouTube, Instagram, TikTok, hingga Facebook, belakangan memicu perbincangan luas. Banyak pihak mulai membandingkan gaya komunikasi politiknya dengan Joko Widodo (Jokowi) saat pertama kali naik daun sebagai Wali Kota Surakarta.

Sosok Dedi Mulyadi dinilai mengambil pendekatan serupa dengan Jokowi dalam membangun citra publik yang dekat dengan masyarakat. Ia kerap tampil santai, blusukan ke desa-desa, menggunakan narasi sederhana, dan menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang “terpisah” dari elite politik konvensional.

Meniru Formula Jokowi?

Kemiripan antara Dedi Mulyadi dan Jokowi tidak hanya terlihat dari gaya blusukan atau penampilan sederhana, tetapi juga dalam cara mereka membangun personal branding yang merakyat. Saat Jokowi pertama kali dikenal secara nasional pada Pilkada DKI Jakarta 2012, ia sukses menciptakan citra sebagai pemimpin yang “berbeda”—tidak berasal dari keluarga militer, tokoh agama besar, atau keturunan presiden sebelumnya.

Demikian halnya dengan Dedi Mulyadi. Meski berasal dari latar belakang birokrat dan pengusaha lokal Purwakarta, ia berhasil menempatkan dirinya sebagai figur yang dekat dengan rakyat biasa, terutama melalui keterlibatannya dalam berbagai konten digital yang menonjolkan nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal.

“Ada upaya untuk mendekonstruksi citra elit politik yang selama ini melekat pada para pemimpin nasional,” ujar Dr. Arya Sandhiyudha, pakar politik dari Universitas Indonesia.

Populisme Digital ala Jokowi & Dedi Mulyadi

Selain soal personal branding, kedua tokoh ini juga dikenal aktif mempersonifikasikan kebijakan populis mereka. Jokowi saat masih menjadi Wali Kota Surakarta misalnya, sering terlihat langsung turun tangan menyelesaikan masalah warga seperti negosiasi dengan pedagang kaki lima. Di masa menjadi Gubernur DKI, ia bahkan rela masuk gorong-gorong untuk meninjau saluran air.

Sementara itu, Dedi Mulyadi juga sering menunjukkan aktivitas serupa—seperti mengunjungi warga di pelosok Jabar, menemani petani sawah, hingga mempromosikan potensi daerah lewat video vlog di kanal YouTube resminya.

Yang membedakan era keduanya adalah media komunikasi . Jika Jokowi naik daun di tengah pertumbuhan awal media sosial, Dedi Mulyadi hadir di zaman content creator , influencer, dan ekspresi digital yang lebih variatif dan cepat menyebar.

“Ini bukan sekadar kampanye politik. Ini adalah transformasi cara komunikasi politik di Indonesia,” tambah Arya.

Langkah Awal Menuju Elektabilitas Tinggi?

Pada masa Jokowi, interaksi di media sosial dengan cepat meningkatkan tingkat kesukaan dan elektabilitas publik. Tak heran jika partai politik, dalam hal ini PDI Perjuangan, akhirnya memproyeksikan Jokowi sebagai calon presiden pada Pilpres 2014.

Kini, langkah serupa dilakukan oleh Dedi Mulyadi. Dengan frekuensi muncul di medsos yang semakin intens, ia mulai menunjukkan ambisi politik yang lebih besar, meskipun belum menyatakan secara eksplisit rencana maju di Pemilu 2029.

Namun, menurut pengamat politik lainnya, Rizky Suryo Putranto, strategi populis di media sosial harus dibarengi dengan program nyata agar tidak dianggap hanya pencitraan.

“Populisme bisa efektif dalam membangun simpati, tapi tanpa substansi kebijakan yang kuat, efeknya hanya bersifat sementara,” katanya.

BY : Asta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *